JURNAL BIOLOGI UDAYANA 26(2): 238-247

P ISSN: 1410-5292 E ISSN: 2599-2856

Optimasi produksi biosurfaktan dari bakteri Bacillus cereus menggunakan minyak jelantah

Optimization of biosurfactant production in Bacillus cereus using waste frying oil

Irma Mardiah*, Ika Fatimah, Nur Asni Setiani, Syarif Hamdani, Dewi Astriany

Program Studi Farmasi, Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia

Jalan Soekarno Hatta No. 354 Bandung

*Email: [email protected]

Diterima 25 Agustus 2022       Disetujui 23 Desember 2022

INTISARI

Biosurfaktan merupakan zat penurun tegangan permukaan yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang memiliki aktivitas antibakteri. Bacillus cereus merupakan salah satu bakteri penghasil biosurfaktan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kondisi optimum produksi biosurfaktan dari Bacillus cereus dengan memanfaatkan minyak jelantah sebagai sumber karbon. Optimasi produksi biosurfaktan dilakukan pada variasi konsentrasi minyak jelantah 2%, 3%, 4%, 5% dan variasi pH media 6, 7, 8 serta dilakukan uji aktivitas menggunakan metode indeks emulsifikasi 24 jam (IE24). Penelitian ini menggunakan media produksi Mineral Salt Medium (MSM), konsentrasi inokulum sebanyak 10% (108 CFU/ml), inkubasi pada suhu ruang dengan kecepatan agitasi 160 rpm. Ekstraksi biosurfaktan menggunakan pelarut kloroform : metanol (2:1). Konsentrasi minyak jelantah terbaik adalah 3% dan nilai pH terbaik pada pH 6. Hasil produksi biosurfaktan dari bakteri Bacillus cereus adalah 8,9 g/L dengan nilai IE24 57,17%. Hasil dari penelitian ini diharapkan mendapatkan kondisi optimum untuk produksi biosurfaktan yang mengandung antimikroba yang dihasilkan oleh Bacillus cereus.

Kata kunci: Mineral Salt Medium, Indeks Emulsifikasi, pH

ABSTRACT

Biosurfactant is a microorganisms metabolite product that have antibacterial activities. The purpose of this study was to obtain optimal conditions in the production of biosurfactants from Bacillus cereus by utilizing waste frying oil as a carbon source. In this study, variations in the optimized production conditions included the concentration of waste frying oil, labelled 2%, 3%, 4%, and 5% and the medium pH at 6, 7, and 8. The study was using Mineral Salt Medium as production medium, the amount of inoculum concentration was 10% v/v (108 CFU/ml), agitation speed 160 rpm and incubation at room temperature. The optimal conditions for biosurfactant production were determined based on the best emulsification index. The biosurfactant extraction was carried out using a combination of chloroform and methanol (2: 1) solvents. The best concentrations of waste frying oil was 3%, and the best medium pH was 6. Biosurfactants produced from Bacillus cereus bacteria was 8,9 g/L with an emulsification index value 57,17%.

Keywords: Mineral Salt Medium, Emulsification Index, pH

PENDAHULUAN

Biosurfaktan merupakan zat penurun tegangan permukaan yang diperoleh dari mikroorganisme yang memiliki aktivitas sebagai penurun tegangan permukaan. Penggunaan surfaktan yang dihasilkan oleh mikroorganisme ini mempunyai keuntungan lebih dibanding penggunaan surfaktan sintetis karena sifatnya yang tidak toksik, efektif, lebih mudah terdegradasi, stabil dan lebih ramah lingkungan (Singh, 2012). Dalam bidang farmasi biosurfaktan dapat digunakan sebagai agen pembusa, zat penstabil emulsi, antibakteri, antivirus dan antikanker (Md, 2012). Penelitian Hasbi & Tabrani (2006) menunjukkan kondisi optimum untuk produksi biosurfaktan dari bakteri Bacillus maceran strain TS9-8 berada pada pH 8,3 dan suhu 30°C. Perlu dilakukan penelitian optimasi produksi biosurfaktan dari bakteri Bacillus cereus.

Produk biosurfaktan dari mikroorganisme yang telah diketahui dan banyak digunakan adalah rhamnolipid, surfaktin dan sophrolipid. Namun penggunaan biosurfaktan belum mampu bersaing dengan surfaktan sintesis. Hal ini karena adanya keterbatasan dalam hal biaya yang dibutuhkan untuk bahan baku dan kapasitas proses pembuatan (Banat et al., 2010). Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam menekan biaya proses produksi biosurfaktan adalah dengan pemilihan subsrat yang terjangkau (De Oliveira & Garcia-Cruz, 2013). Sumber karbon terbaik dengan harga rendah yang dapat digunakan untuk produksi biosurfaktan yang diperoleh dari Bacillus sp. adalah limbah minyak yang sudah tidak digunakan seperti limbah minyak diesel, limbah minyak goreng (jelantah), limbah sawit. Pada penelitian tersebut, sumber karbon yang mempunyai nilai indeks emulsifikasi tertinggi yaitu 68% adalah limbah minyak goreng (jelantah) (Ghazal et al., 2017).

Limbah minyak goreng (jelantah) adalah limbah yang banyak mencemari lingkungan, terutama limbah minyak yang berasal dari restoran atau rumah makan dan industri rumahan. Pemanfaatan limbah minyak goreng (jelantah)

sebagai sumber karbon pada produksi biosurfaktan dapat mengurangi pencemaran limbah minyak dan menurunkan harga produksi biosurfaktan. Kualitas dan kuantitas produksi biosurfaktan yang dihasilkan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya sumber karbon dan kondisi kultur seperti pH dan suhu (Md, 2012), sehingga diperlukan kondisi optimal untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas biosurfaktan yang dihasilkan. Telah dilakukan penelitian penapisan bakteri penghasil biosurfaktan, salah satunya adalah Bacillus cereus dengan jenis biosurfaktan golongan lipopeptida yang juga memiliki aktivitas antibakteri. Biosurfaktan dari bakteri tersebut juga dapat digunakan sebagai agen antimikroba (Setiani et al., 2020). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kondisi optimum produksi biosurfaktan dari bakteri Bacillus cereus dengan sumber karbon minyak jelantah.

MATERI DAN METODE

Tempat dan waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juli sampai Oktober 2020 di Laboratorium Mikrobiologi dan Labolatorium Kimia, Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia, Jalan Soekarno Hatta No. 354 Bandung.

Bahan dan alat

Bahan yang digunakan pada penelitian adalah bakteri Bacillus cereus koleksi Laboratorium Mikrobiologi STFI, limbah minyak goreng (jelantah) dari Rumah Makan di Bandung, media Nutrient Agar (NA) (Merck®), NaNO3, KH2PO4, K2HPO4 (Merck®), KCl, MgSO4.7H2O, CaCl2.2H2O, FeSO4.7H2O, NaOH, HCl, yeast extract (Merck®), akuades, minyak kelapa sawit (Kunci Mas®), asam oksalat, indikator fenofltalein, etanol 95%, NaCl fisologis 0,9% (Ecosol®), kloroform ≤ 100% (Merck®), metanol 99,8% (Fulltime®), syringe filter PTFE 0,22µm (Agilent®) , kertas saring, blue tip, dan etanol 70% (Brataco®).

Alat yang digunakan pada penelitian adalah shaker (IKA® KS 260), autoklaf (My Life® MA 678GE), inkubator (Memmert® UN110), Laminar Air Flow (LAF) (Ersa Scientific), oven (Memmert® UN110), spektrofotometer UV-Visibel (Shimadzu® UV1800), colony counter (Rocker® galaxy 230), neraca analitik (Ohaus®), pH meter (Eutech® pH 700), vortex mixer (Barnstead® type 37600), centrifuge (Hettich® Zentrifugen D-78532 tuttligen), magnetic stirrer (Daiha® Scientific), buret, kuvet (Helma®), mikropipet (FisherBrand® Elite), cawan petri, kawat ose, tabung falkon 50 mL (Nest®), Syringe (OneMed®), tabung sentrifuge 15 mL (Nest®), vial 20 mL, dan alat-alat gelas lain.

Metode

  • a.    Identifikasi Organoleptik

(Badan Standardisasi Nasional, 2022)

Pengujian dilakukan secara organoleptik. Minyak jelantah diambil sebanyak 2 mL dan diletakkan di atas kaca arloji bersih dan kering. Minyak jelantah diamati warna dan baunya.

  • b.    Persiapan Sampel Minyak Jelantah

Minyak jelantah yang dijadikan sampel disaring terlebih dahulu menggunakan filter PTFE 0,22µm.

  • c.    Penetapan Kadar Asal Lemak Minyak

Jelantah

(Badan Standardisasi Nasional, 2022)

Minyak jelantah ditimbang sebanyak 10 gram, dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 250 mL. Etanol 95% hangat ditambahkan sebanyak 50 mL kemudian ditambahkan 5 tetes indikator fenolftalein (PP), dititrasi dengan NaOH 0,1 N hingga terjadi perubahan warna menjadi merah muda.

Kadar Asam Lemak:

ml NaOH ×NaOH × BMMinyak

g minyak × 1000       ×100

  • d.    Media Pertumbuhan

Pada erlenmeyer 2 L, diisi dengan 1 L media Mineral Salt Medium (MSM) dengan komposisi (g/L): NaNO3 (7.0 gram), KH2PO4 (0.5 gram), K2HPO4 (1.0 gram), KCl (0.1 gram), MgSO4.7H2O (0.5 gram), CaCl2.2H2O (0.01 gram), FeSO4.7H2O (0.01 gram), yeast extract (0.1 gram) dan akuades sampai 1 L. Medium kemudian disterilisasi pada suhu 121oC selama 15 menit (Hisham et al., 2019).

  • e.    Kurva Pertumbuhan Bakteri Bacillus cereus

Masing-masing bakteri diambil 1-2 ose dari biakan murni kemudian diinokulasikan kedalam 100 mL media MSM dalam Erlenmeyer 250 mL. Kultur diinkubasi menggunakan shaker dengan kecepatan 160 rpm pada suhu ruang. Pengamatan dilakukan terhadap nilai Optical Density (OD) menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 600 nm setiap 24 jam hingga bakteri memasuki fase kematian. (Hamida, 2010).

  • f.    Optimasi Kondisi Produksi Biosurfaktan

Variasi Konsentrasi Karbon (Minyak Jelantah)

Sebanyak 25 mL media MSM di dalam tabung falkon 50 mL ditambahkan dengan minyak jelantah dengan variasi konsentrasi sebesar 2, 3, 4, dan 5% (v/v). Lalu media tersebut di-adjust pH dengan NaOH 0,1 N hingga pH 7. Setelah itu masing-masing suspensi bakteri diinokulasikan ke dalam media sebanyak 2,5 ml (10% v/v, 108 CFU/ml) kemudian diinkubasi dengan shaker kecepatan 160 rpm selama 6 hari pada suhu ruang. Kultur dari sampel diambil setiap 24 jam. Hasil produksi dipisahkan dari sel dengan sentrifugasi kecepatan 4.000 rpm selama 30 menit hingga diperoleh supernatan.

Variasi pH

Sebanyak 25 mL media MSM di dalam tabung falkon 50 mL ditambahkan dengan minyak jelantah dengan konsentrasi 3%, kemudian media di-adjust pH dengan NaOH 0,1 N atau HCl 0,1 N hingga pH 6,7,dan 8. Setelah itu masing-masing suspensi bakteri diinokulasikan ke ke dalam media sebanyak 2,5 ml (10% v/v) kemudian

diinkubasi dengan shaker kecepatan 160 rpm selama 6 hari pada suhu ruang. Kultur dari sampel diambil setiap 24 jam. Hasil produksi dipisahkan dari sel dengan sentrifugasi kecepatan 4.000 rpm selama 30 menit hingga diperoleh supernatan.

  • g.    Pengukuran Indeks Emulsifikasi (IE24)

Indeks emulsifikasi dilakukan pada setiap supernatan, diukur dengan memasukkan 2 mL supernatan dan 2 mL minyak kelapa sawit dalam tabung reaksi. Campuran ini diaduk menggunakan vortex mixer selama 1 menit kemudian dibiarkan selama 24 jam pada suhu ruang. Setelah 24 jam tinggi lapisan emulsi yang terbentuk diukur.

Nilai indeks emulsifikasi (E24) merupakan persentase dari tinggi lapisan emulsi (cm) dibagi dengan tinggi total larutan (cm) (Kurniati, 2016).

Indeks Emulsifikasi (E24):

tinggi lapisan emulsi tinggi total larutan

× 100


  • h.    Produksi dan Ekstraksi Biosurfaktan dari Bakteri Bacillus cereus

Sebanyak 100 mL media MSM di dalam Erlenmeyer ditambahkan dengan minyak jelantah dengan konsentrasi masing-masing 3%, kemudian media di-adjust pH dengan NaOH 0,1 N atau HCl 0,1 N hingga pH 6. Setelah itu masing-masing kultur bakteri diinokulasikan ke ke dalam media sebanyak 10 ml (10% v/v) kemudian diinkubasi dengan shaker kecepatan 160 rpm selama 1 hari. Hasil produksi dipisahkan dari sel dengan sentrifugasi kecepatan 4.000 rpm selama 30 menit hingga diperoleh supernatan.

Supernatan yang didapat kemudian diasamkan dengan HCl 2 N hingga pH 2. Selanjutnya didiamkan selama 12 jam pada suhu 4°C kemudian diekstraksi dengan kloroform : metanol (2:1) sama banyak menggunakan metode pengadukan selama 2 jam. Hasil ekstraksi diuapkan pelarutnya menggunakan waterbath hingga didapatkan crude biosurfaktan. Crude biosurfaktan dikeringkan dengan oven pada suhu

60°C,  selanjutnya ditimbang hingga bobot

konstan (Hamida, 2010; Hisham et al., 2019).

HASIL

Identifikasi organoleptik berupa warna dan bau dari minyak jelantah yang digunakan menunjukkan warna kuning gelap dan bauk has minyak bekas pakai (agak tengik), jika dibandingkan dengan minyak kelapa sawit, minyak kelapa sawit biasa menujukkan warna kuning cerah dan tidak berbau tengik. Hasil identifikasi organoleptik dapat dilihat pada Tabel 1. Perbandingan warna minyak jelantah dan minyak sawit segar dapat dilihat pada Gambar 1.

Tabel 1 Hasil identifikasi organoleptik minyak jelantah

Pengujian                  Hasil

Warna       Kuning gelap

Bau         Bau khas minyak bekas pakai (agak

tengik)

(a)                        (b)

Gambar 1. Perbandingan warna minyak (a) minyak jelantah.; dan (b) minyak kelapa sawit

Penetapan kadar asam lemak bebas pada penelitian ini menggunakan metode titrasi asam basa (alkalimetri) dimana prinsip yang digunakan adalah reaksi netralisasi karena adanya reaksi antara ion hidrogen yang berasal dari asam lemak (minyak) dengan ion hidroksida yang berasal dari basa yang digunakan sebagai pentiter (NaOH) (Sopianti et al., 2017). Sebelum dilakukan penetapan kadar asam lemak, NaOH yang digunakan dilakukan pembakuan menggunakan larutan baku asam oksalat 0,1 N. Hasil pembakuan menunjukan normalitas NaOH sesungguhnya adalah 0,086 N. Titrasi dilakukan pada sampel minyak yang dilarutkan dalam etanol

96% hangat. Etanol 96% digunakan sebagai pelarut minyak karena etanol merupakan salah satu pelarut organik yang dapat melarutkan lemak atau minyak dalam sampel (Ulfa et al., 2017). Hasil titrasi alkalimetri menunjukan nilai asam lemak bebas pada minyak jelantah yang digunakan adalah 0,31%, yang menggambarkan kandungan asam lemak berantai panjang yang tidak teresterifikasi dan bersifat jenuh. Hasil uji kadar asam lemak bebas menggunakan teknik alkalimetri dan larutan baku NaOH 0,1 N dari minyak jelantah pedangang goreng ayam menunjukkan nilai berkisar antara 0,38-0,51% (Latif et al., 2021). Hal ini dapat diartikan bahwa sumber karbon untuk produksi biosurfaktan tercukupi menggunakan minyak jelantah.

Pembuatan kurva pertumbuhan bakteri bertujuan untuk mengetahui fase pertumbuhan bakteri. Berdasarkan hasil kurva pertumbuhan diketahui pola pertumbuhan bakteri Bacillus cereus yang tertera pada Gambar 2. Fase adaptasi pada bakteri Bacillus cereus terjadi pada jam ke-0 hingga jam ke-4, fase logaritmik atau eksponensial terjadi dari jam ke-4 hingga jam ke-14 kemudian memasuki fase stasioner jam ke-15.

Pola kurva pertumbuhan B.cereus menunjukkan fase stasioner mulai dari jam ke-24 hingga jam ke-168 (hari ke-7), pengamatan

dihentikan hingga hari ke-7 karena pertumbuhan bakteri tidak menunjukkan memasuki tahap kematian.

Bakteri Bacillus cereus ditumbuhkan pada media MSM dengan 4 variasi konsentrasi yaitu 2%, 3%, 4%, dan 5%. Proses optimasi kondisi produksi biosurfaktan dilakukan selama 6 hari sesuai dengan hasil dari kurva pertumbuhan bahwa fase stasioner berlangsung hingga hari ke-6. Hasil produksi biosurfaktan yang dengan pengukuran indeks emulsifikasi (IE24) dapat dilihat pada gambar 3. Hasil nilai IE24 tertinggi pada variasi konsentrasi bakteri Bacillus cereus adalah 61,67% dengan konsentrasi minyak jelantah masing-masing 3%.

Optimasi variasi pH media pertumbuhan menggunakan sumber karbon minyak jelantah pada konsentrasi 3% didasarkan dari hasil IE24 tertinggi pada penentuan konsentrasi sebelumnya. Media pertumbuhan bakteri diberi perlakuan pH pada kondisi asam , netral hingga basa. Perlakuan varisi pH yang digunakan adalah 6, 7 dan 8. Produksi variasi pH dilakukan sama seperti variasi konsentrasi minyak jelantah yaitu hingga hari ke-6 (Gambar 4). Hasil yang diperoleh dari pengukuran IE24 menunjukan pengaruh pH yang memberikan nilai tertinggi pada bakteri Bacillus cereus adalah pH 6.

Kurva TiuiibuliBakreri Bacillus cereus

Bacillus cereus


Gambar 2. Kurva pertumbuhan bakteri Bacillus cereus


Gambar 3. Grafik nilai IE24 dari Variasi Konsentrasi Minyak Jelantah pada bakteri Bacillus cereus


Gambar 4. Grafik nilai IE24 dari Variasi pH pada bakteri Bacillus cereus


Produksi biosurfaktan dibuat sebanyak 100 mL media dengan konsentrasi Bacillus cereus 3% dan kondisi pH 6 dengan waktu produksi 1 hari. Setelah proses produksi selesai, kultur disentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm selama 30 menit. Proses sentrifugasi dilakukan untuk memisahkan kultur dengan sel. Kultur bebas sel kemudian diasamkan menggunakan HCl 2N hingga pH 2. Proses pengendapan dilakukan pada suhu 4oC selama semalam agar pengendapan berlangsung secara optimal. Setelah pengendapan selesai dilakukan proses ekstraksi. Proses ekstraksi dilakukan untuk memisahkan

biosurfaktan dari pembawa lain seperti protein, polisakarida dan molekul kecil. Pada penelitian ini proses ekstraksi dilakukan menggunakan kloroform:metanol (2:1). Crude biosurfaktan dari bakteri Bacillus cereus menghasilkan produk berwarna putih kekuningan, berbau minyak agak tengik (Gambar 5).

Produksi menunjukan hasil 8,9 g/L. Supernatan bebas sel dan crude biosurfaktan hasil produksi dilakukan uji indeks emulsifikasi 24 jam (IE24) (Gambar 5). Konsentrasi crude yang digunakan adalah 5% dilarutkan dalam akuades. Sebagai

kontrol positif digunakan Sodium Lauryl Sulfat (SLS) konsentrasi 1% dan kontrol negatif digunakan media MSM. Nilai pengujian IE24

pada supernatan hasil produksi adalah 57,17% dan crude nya adalah 61,25%.

Gambar 6.


Gambar 5. Crude biosurfaktan Bacillus cereus


Indeks Emulsifikasi Biosurfaktan Hasil Produksi (a)


Crude Bacillus cereus, (b)


Supernatant Bacillus cereus, (c) Kontrol negatif (Media), (d) Kontrol positif (SLS 1%)

PEMBAHASAN

Hasil identifikasi organoleptik menunjukan minyak jelantah yang digunakan berwarna kuning gelap. Minyak bekas pakai akan mengalami perubahan warna dari kuning menjadi gelap akibat proses degradasi karena adanya pemanasan tinggi disertai adanya kontak dengan udara dan air pada proses penggorengan (Sopianti et al., 2017). Hasil titrasi alkalimetri menunjukan nilai asam lemak bebas pada minyak jelantah yang digunakan adalah 0,31%. Kandungan asam lemak

bebas dalam minyak jelantah dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan biosurfaktan sebagai sumber karbon bagi (Rengga et al., 2018).

Produksi metabolit sekunder dimulai ketika bakteri memasuki fase stasioner dimana akumulasi limbah, ruang dan kapasitas nya, termasuk metabolit sekunder (Tortora et al., 2018). Hasil kurva pertumbuhan bakteri Bacillus cereus yang dilakukan pada penelitian ini, jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh de Vries et al. (2004) bahwa bakteri Bacillus

cereus mencapai fase lag pada jam ke-0 hingga jam ke-4 dan fase eksponensial pada jam ke-14 memiliki pola yang serupa. Fase stasioner pada penelitian ini memiliki rentan waktu yang panjang hingga jam ke-168. Fitria & Zulaika (2018) bahwa fase stasioner bakteri Bacillus cereus terjadi pada jam ke-24 hingga jam ke-96. Menurut Fitria & Zulaika (2018), pola stasioner yang panjang disebabkan karena media yang digunakan. Media yang digunakan dalam penelitian ini adalah Mineral Salt Medium (MSM). Mineral Salt Medium adalah media pertumbuhan bakteri yang mengandung garam-garam mineral yang essensial bagi organisme. Komposisi MSM yang tidak mengandung sumber karbon diharapkan akan mendorong mikroorganisme untuk memanfaatkan sumber karbon lain yang sengaja ditambahkan (Fitria & Zulaika, 2018). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Praharyawan et al. (2013) pada bakteri Bacillus sp. DSW17 zat yang berperan secara signifikan dalam produksi biosurfaktan adalah NaNO3 sebagai sumber nitrogen, FeSO4 sebagai sumber mineral menyebabkan pengendapan biosurfaktan sehingga meningkatkan produksi biosurfaktan, minyak jelantah digunakan sebagai sumber karbon tunggal dan substrat, KH2PO4 dan K2HPO4 digunakan sebagai larutan penyangga pada media, MgSO4, dan CaCl2 sebagai sumber ion Mg2+ dan Ca2+.

Nilai OD yang digunakan sebagai pengukuran pertumbuhan bakteri juga memiliki beberapa kelemahan, menurut Dwipayana et al. (2018) pengukuran pertumbuhan bakteri menggunakan teknik OD adalah menghitung sel total dalam larutan, tanpa bisa membedakan sel yang hidup dan sel yang mati, sehingga jumlah sel yang terukur tidak hanya mewakili sel yang hidup. Kemungkinan terbacanya fase stasioner dengan rentan waktu yang lama, adalah terhitungnya jumlah sel yang mati atau jumlah endospora, mengingat bakteri B.cereus memiliki endospore yang terbentuk jika kondisi lingkungan tidak mendukung (Tortora et al., 2018).

Indeks emulsifikasi digunakan sebagai uji aktivitas biosurfaktan. Indeks emulsifikasi adalah metode tidak langsung untuk skrining biosurfaktan. Prinsip pengujian indeks emulsifikasi adalah dengan mengukur perbandingan tinggi lapisan emulsi dengan tinggi cairan. Semakin tinggi nilai indeks emulsifikasi semakin baik biosurfaktan yang dihasilkan. Pengujian dilakukan terhadap supernatan bebas sel hasil optimasi. Hasil indeks emulsifikasi >50% menunjukan aktivitas yang tinggi (Ikhwani, 2017).

Hasil nilai IE24 tertinggi pada variasi konsentrasi bakteri Bacillus cereus adalah 61,67% dengan konsentrasi minyak jelantah 3%. Hasil ini masih lebih rendah dibandingkan penelitian Ghazal et al. (2017) yang menggunakan sumber karbon 2% minyak jelantah dengan nilai IE24 68% dengan waktu produksi 72 jam. Konsentrasi 3% memberikan hasil serupa dengan penelitian De Oliveira & Garcia-Cruz (2013) yang menggunakan bakteri Bacillus pumilus dengan konsentrasi minyak jelantah yang optimal adalah konsentrasi 3% dan 5% dengan waktu produksi 96 jam. Penelitian yang dilakukan De Oliveira & Garcia-Cruz (2013) juga menunjukkan kenaikan dan penurunan nilai indeks emulsifikasi pada variasi konsentrasi minyak jelantah. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan konsentrasi yang digunakan sebagai sumber karbon pada media serta spesies dan fisiologi bakteri yang digunakan.

Hasil yang diperoleh dari pengukuran IE24 menunjukan pengaruh pH yang memberikan nilai tertinggi pada bakteri Bacillus cereus adalah pH 6 dengan nilai IE24 69,78%. Pada penelitian Fitria & Zulaika (2018) menyebutkan bahwa bakteri Bacillus cereus tumbuh pada kisaran pH 6 sampai 8 dan tumbuh optimal pada pH 6.

Proses pengasaman pada proses produksi biosurfaktan dilakukan untuk mengendapkan biosurfaktan sehingga lebih mudah untuk dipisahkan (Hisham et al., 2019). Proses pengendapan dilakukan pada suhu 4oC selama semalam agar pengendapan berlangsung secara optimal. Setelah pengendapan selesai dilakukan

proses ekstraksi. Proses ekstraksi dilakukan untuk memisahkan biosurfaktan dari pembawa lain seperti protein, polisakarida dan molekul kecil.

Pada penelitian ini proses ekstraksi dilakukan menggunakan kloroform:metanol (2:1). Kloroform:metanol (2:1) digunakan berdasarkan penelitian Md Badrul Hisham et al., (2019) produksi biosurfaktan dari Bacillus sp. dengan sumber karbon minyak jelantah menghasilkan yield paling tinggi menggunakan pelarut kloroform : metanol (2:1) dibandingkan menggunakan pelarut etil asetat dan metanol. Kombinasi pelarut (mix solvent) umumnya digunakan untuk memudahkan penyesuaian polaritas antara pelarut dan biosurfaktan. Campuran ini banyak digunakan sebagai pembawa biosurfaktan karena polaritas yang sesuai dengan biosurfatan yaitu fase non polar yang akan menarik bagian hidrofob dan polar menarik bagian hidrofil dari biosurfaktan sehingga proses ekstraksi dapat menghasilkan yield yang tinggi (Hamida, 2010). Metode pengendapan asam dan ekstraksi dengan pelarut dipilih karena metode yang mudah digunakan, tidak mahal dan cocok sebagai metode ekstraksi pada biosurfaktan dengan bobot molekul yang rendah seperti lipopeptida biosurfaktan. Biosurfaktan dari Bacillus cereus merupakan biosurfaktan golongan lipopeptida (Hisham et al., 2019).

Hasil produksi biosurfaktan yang di dapat dari penelitian ini lebih tinggi dibanding penelitian dari (Hisham et al., 2019) yang menggunakan bakteri Bacillus sp. HIP3 dengan sumber karbon 2% minyak jelantah yaitu 5,35 g/L. Penelitian lain menggunakan sumber karbon yang sama pada bakteri Pseudomonas aeruginosa menghasilkan 85 mg/ L (Awaludin & Sari, 2017). Penelitian De Oliveira & Garcia-Cruz (2013) pada bakteri Bacillus pumilus menunjukan hasil 5,7 g/L dan 5,21 g/L dengan konsentrasi minyak jelantah masing-masing 5% dan 3%. Hasil penelitian ini berguna untuk informasi optimasi kondisi pH dan suhu produksi biosurfaktan dari bakteri Bacillus cereus.

SIMPULAN

Konsentrasi minyak jelantah sebagai sumber karbon yang optimum dalam produksi biosurfaktan dari bakteri Bacillus cereus adalah 3% dengan pH 6. Nilai indeks emulsifikasi 24 jam (IE24) supernatan biosurfaktan dari bakteri Bacillus cereus adalah 57,17% hasil produksi sebanyak 8,9 g/L.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Yayasan Hazanah atas bantuan dana Hibah Riset Dosen Pemula serta berbagai fasilitas yang telah diberikan pada program riset ini.

KEPUSTAKAAN

Awaludin N, Sari CN. 2017. Variasi Produksi Rhamnolipid oleh Pseudomonas aeruginosa dalam Aplikasi Microbial Enhanced Oil Recovery (MEOR). Scientific Contributions Oil and Gas 40(1): 33–40.

Badan Standardisasi Nasional. 2022. Minyak Goreng SNI 01-3741-2022. Badan Standardisasi Nasional.

Banat IM, Franzetti A, Gandolfi I, Bestetti G, Martinotti MG, Fracchia L, Smyth TJ, Marchant R. 2010. Microbial biosurfactants production, applications and future potential. Applied Microbiology and Biotechnology 87(2): 427–444.

De Oliveira J, Garcia-Cruz CH. 2013. Properties of a Biosurfactant Produced by Bacillus pumilus Using Vinasse and Waste Frying Oil as Alternative Carbon Sources. Arch. Biol. Technol. 56(1): 155–160.

de Vries YP, Hornstra LM, de Vos WM, Abee T. 2004. Growth and sporulation of Bacillus cereus ATCC 14579 under defined conditions: temporal expression of genes for key sigma factors. Applied and Environmental Microbiology 70(4): 2514– 2519.

Dwipayana D, Ariesyady H, Sukandar. 2018. Identifikasi keberagaman bakteri pada lumpur hasil pengolahan limbah cat dengan teknik konvensional. Jurnal Teknik Lingkungan 15(1): 7–17.

Fitria A, Zulaika E. 2018. Aklimatisasi pH dan Pola Pertumbuhan Bacilllus cereus S1 pada Medium MSM Modifikasi. Jurnal Sains Dan Seni ITS, 7(2), 39–41.

Ghazal M, Moussa L, Makboul H, Fayed S. 2017. Screening of Some Bacilli Strains for their Abilities to Produce Biosurfactants. Der Pharma Chemica 9(8): 6-12.

Hamida F. 2010. Pengaruh konsentrasi crude gliserol (limbah biodiesel) terhadap pertumbuhan Lysinibacillus sphaericus strain HytAP-B60 [Skripsi]. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Hasbi M, Tabrani G. 2006. Meningkatkan Produksi Biosurfaktan Bakteri Bacillus Maceran Strain TS9-8 Dengan Perlakuan Faktor Lingkungan (Ph, Suhu Dan Suplai Oksigen). Seminar Nasional Teknik Kimia Teknologi Oleo dan Petrokimia Indonesia, 1–9.

Hisham NHMB, Ibrahim MF, Ramli N, Abd-Aziz S. 2019. Production of biosurfactant produced from used cooking oil by Bacillus sp. HIP3 for heavy metals removal. Molecules 24(14).

Ikhwani AZN. 2017. Optimasi Produksi Biosurfaktan dari Pseudomonas aeruginosa dengan Perbedaan pH Media dan Sumber Karbon Minyak Mentah. Institut Pertanian Bogor.

Kurniati TH. 2016. Bakteri Penghasil Biosurfaktan Dari Lingkungan Tercemar Limbah Minyak Dan Potensinya Dalam Mendegradasi Hidrokarbon Aromatik Polisiklik (Hap). Institut Pertanian Bogor.

Latif AN, Burhan AH, Rini YP, Mardiyaningsih A. 2021. Narrative Review: Analisis Kadar Asam Lemak Bebas dan Kadar Air dalam Minyak Jelantah Sawit Narrative Review: Analysis of Free Fatty Acid and Moisture

Content in Palm Cooking Oil. Jurnal Ilmu Kesehatan Bhakti Setya Medika 6(2): 73-82.

Md F. 2012. Biosurfactant: Production and Application. Journal of Petroleum & Environmental Biotechnology 03(04) https://doi.org/10.4172/2157-7463.1000124

Praharyawan S, Susilaningsih D, Syamsu K. 2013. Statistical screening of medium components     by     Plackett-Burman

experimental design for biosurfactant production by Indonesian indigenous Bacillus sp. DSW17. Asian J. Microbiol. Biotechnol. Environ. Sci. 15: 805-813.

Rengga WDP, Riyadi DHS, Bintang A, Kuntoro K. 2018. Kajian Produksi Dan Proses Biosurfaktan Rhamnolipida Dari Limbah Industri Minyak Sawit Dan Turunannya Menggunakan Pseudomonas Aeruginosa. Prosiding Seminar Nasional Energi Dan Teknologi (SINERGI), 84–94.

Setiani NA, Agustina N, Mardiah I, Hamdani S, Astriany D. 2020. Potensi Bacillus cereus dalam produksi biosurfaktan. Jurnal Biologi Udayana 24(2): 135-141

Singh V. 2012. Biosurfactant-Isolation, Production, Purification & Significance. International Journal of Scientific and Research Publications 2(7).

Sopianti DS, Herlina H, Saputra HT. 2017. Penetapan kadar asam lemak bebas pada minyak goreng. Jurnal Katalisator 2(2): 100–105.

Tortora GJ, Funke BR, Case CL. 2018. Microbiology an Introduction (S. Beauparlant, Ed.; 13th ed.). Pearson.

Ulfa AM, Retnaningsih A, Aufa R. 2017. Penetapan kadar asam lemak bebas pada minyak kelapa, minyak kelapa sawit dan minyak zaitun kemasan secara alkalimetri. Jurnal Analis Farmasi 2(4): 242-250.

247